135 Juta Nyawa ‘Hilang Lebih Cepat’ dari Waktunya, Dampak Polusi Udara?

iaminkuwait.com, JAKARTA — Emisi polusi akibat ulah manusia dan sumber lain seperti kebakaran hutan telah dikaitkan dengan sekitar 135 juta kematian dini di seluruh dunia antara tahun 1980 dan 2020. Menurut sebuah studi oleh Nanyang Technological University (NTU), Singapura.

Fenomena cuaca seperti El Niño dan Indian Ocean Dipole (IOD) memperkuat dampak polutan ini dengan meningkatkan konsentrasinya di udara, kata para peneliti. Partikel nano yang disebut dengan particulate matter 2.5 atau PM 2.5 berbahaya bagi kesehatan manusia jika terhirup karena ukurannya yang kecil dan dapat masuk ke aliran darah. Partikel-partikel ini berasal dari emisi kendaraan dan industri, serta dari sumber alam seperti kebakaran dan badai debu.

“Partikel kecil ini telah dikaitkan dengan 135 juta kematian dini di seluruh dunia dari tahun 1980 hingga 2020,” kata Steve Yim, profesor NTU yang memimpin penelitian tersebut, seperti dilansir Malay Mail, Rabu (6/12/2024).

Ditemukan bahwa orang meninggal lebih muda dari usia harapan hidup rata-rata akibat penyakit atau kondisi yang dapat diobati atau dicegah, termasuk stroke, penyakit jantung dan paru-paru, serta kanker. Yim mengatakan cuaca meningkatkan angka kematian sebesar 14 persen. Asia merupakan negara yang paling banyak menyebabkan kematian dini akibat polusi AM 2.5, yaitu lebih dari 98 juta orang, sebagian besar berada di Tiongkok dan India.

“Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Jepang juga memiliki jumlah kematian dini yang signifikan, antara 2 hingga 5 juta orang,” kata Yim.

Studi ini merupakan salah satu studi kualitas udara dan iklim terbesar yang pernah dilakukan, menggunakan data selama 40 tahun untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai dampak kesehatan dari bahan tertentu. “Temuan kami menunjukkan bahwa perubahan iklim memperburuk polusi udara. Ketika peristiwa iklim tertentu seperti El Niño terjadi, tingkat polusi dapat meningkat, yang berarti lebih banyak orang akan meninggal sebelum waktunya akibat polusi PM 2.5,” tambah Yim.

Peneliti Singapura menganalisis data satelit yang disediakan oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) mengenai tingkat partikel di atmosfer bumi. Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan yang berbasis di AS merilis statistik kematian akibat penyakit yang terkait dengan pencemaran lingkungan.

Informasi cuaca untuk periode ini diambil dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) AS. Yim mengatakan penelitian ini hanya akan fokus pada dampak kondisi cuaca normal terhadap polusi udara, dan dampak perubahan iklim akan menjadi bahan penelitian lebih lanjut.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *