iaminkuwait.com, JAKARTA – Pemerintah Inggris dan layanan kesehatan masyarakatnya, Layanan Kesehatan Nasional, menyatakan ribuan pasien terjangkit infeksi mematikan setelah menerima darah dan produk darah yang terkontaminasi. Temuan tersebut terungkap dalam laporan investigasi terbaru yang dipublikasikan pada Senin (20/5/2024).
Skandal ini dimulai pada tahun 1970an ketika pengobatan baru muncul untuk pasien hemofilia dan kelainan serupa. Perawatan ini menggunakan plasma darah manusia sebagai pengganti zat pembekuan. Sayangnya, plasma darah yang digunakan untuk pengobatan ini diperoleh dari darah yang terinfeksi atau terkontaminasi.
Sekitar 1.250 pasien secara bersamaan terinfeksi HIV dan hepatitis C setelah menerima pengobatan ini. Sebanyak 380 pasien adalah anak-anak. Dua pertiga orang yang terinfeksi HIV dan hepatitis C akhirnya meninggal karena penyakit terkait AIDS. Beberapa pasien yang terinfeksi HIV tanpa sadar menyebarkan virus tersebut ke pasangannya.
Selain itu, diperkirakan 2.400 hingga 5.000 pasien tertular hepatitis C setelah menerima pengobatan dengan darah yang terkontaminasi. Banyak dari pasien ini menderita karsinoma hepatoseluler dan kanker hati setelah terpapar hepatitis C.
Pada tahun 1970–1991, darah najis kembali terjadi di Inggris. Selama ini, pasien ditangani dengan prosedur pembedahan. Anda pernah terpapar darah yang terinfeksi atau terkontaminasi melalui transfusi darah setelah melahirkan atau menerima perawatan medis lainnya.
Sekitar 80-100 pasien tertular HIV melalui paparan darah yang terkontaminasi. Sementara itu, sekitar 27.000 pasien terinfeksi hepatitis C. Menurut AP, 3.000 orang telah meninggal karena darah yang terkontaminasi atau terkontaminasi. Skandal ini diyakini telah menyebabkan ribuan pasien lainnya berjuang melawan penyakit seumur hidup.
Menurut laporan, banyak penularan dan kematian akibat skandal ini sebenarnya bisa dihindari jika pemerintah bertindak tegas. Langkah afirmatif yang dimaksud berkaitan dengan upaya mengurangi risiko penularan melalui penggunaan transfusi darah atau produk darah lainnya.
“Petugas telah membuat (pasien) menderita selama bertahun-tahun dengan menyangkal melakukan kesalahan apa pun,” kata ketua penyelidikan, Sir Brian Longstaff, kepada BBC, Rabu (22/5/2024).
Yang lebih tragis lagi, laporan akhir penyelidikan mengungkapkan bahwa otoritas terkait tidak secara terbuka memberi tahu pasien tentang risiko pengobatan baru tersebut. Mereka memberikan informasi yang lebih sedikit kepada pasien mengenai terapi alternatif.
Faktanya, otoritas terkait dinilai kurang transparan dalam memberikan informasi mengenai infeksi yang dialami pasien setelah mendapat pengobatan. Sebaliknya, para pejabat meyakinkan bahwa pasien tersebut dirawat dengan lebih baik dan tes darah sedang dilakukan.
“Ketika pasien mulai terinfeksi, pihak berwenang lambat memberi tahu mereka apa yang terjadi,” kata Sir Longstaff.
Oleh karena itu, Sir Longstaff berpendapat bahwa skandal rumit ini bukanlah suatu kebetulan belaka. “Skandal ini terjadi karena kegagalan para pejabat, dokter, layanan pengelolaan darah, dan pemerintah dalam mengutamakan keselamatan pasien,” jelas Sir Longstaff.
Berikut adalah beberapa temuan yang disajikan dalam laporan akhir.
1. Upaya untuk menghentikan impor produk darah asing yang menggunakan darah dari donor berbahaya seperti narapidana dan pengguna obat-obatan terlarang masih kurang.
2. Di Inggris, donor darah dari kelompok berisiko tinggi diterima hingga tahun 1986.
3. Meskipun HIV dikenal sejak tahun 1982, produk darah tidak diberi perlakuan panas untuk menghilangkan risiko hingga akhir tahun 1985.
4. Sejak tahun 1970an, sangat sedikit penelitian yang dilakukan untuk mengurangi risiko hepatitis.
Temuan ini menuai kritik dari pemerintah Inggris dan otoritas terkait. Mereka menganggap keselamatan pasien dalam bahaya dan telah berusaha menutupi kekacauan ini selama beberapa dekade.
“Kami benar-benar minta maaf,” kata Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak kepada publik dalam permintaan maaf resminya.
Sunak kemudian mengatakan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sunak mengatakan, pemerintah akan memberikan kompensasi senilai total 10 miliar poundsterling atau Rp 204 triliun.