iaminkuwait.com, JAKARTA — Pakar keluarga IPB mengingatkan seluruh keluarga agar lebih berhati-hati dalam memprioritaskan kebutuhannya dan tidak mudah mengambil uang saat mengambil pinjaman. Hal ini terungkap menyikapi banyaknya masyarakat yang terjerumus utang melalui penipu atau rentenir.
Warga Jawa Barat mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah emok yang artinya cara perempuan duduk. Bank Emok merupakan salah satu penyedia layanan pinjaman di Jawa Barat yang menyediakan nasabah duduk “emok” secara berkelompok dan melingkar. Dengan suku bunga pinjaman yang tinggi, banyak konsumen yang terbebani dengan pinjaman yang berlipat ganda.
Setiap keluarga harus mengetahui kemampuan keuangannya dan berhati-hati saat ingin meminjam uang, kata Profesor Uise Sunarti dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB University.
“Utamakan kebutuhanmu dulu. Kalau terpaksa mengambil pinjaman, harus tahu kemampuan mencicilnya. utang. “Jangan sampai cicilan menumpuk dan terus terlilit utang,” kata pakar keluarga IPB Profesor Euys Sunarti, Senin (24/6/2024) dalam keterangan tertulisnya.
Profesor Eavis menjelaskan, Emock menggunakan jasa bank tersebut karena tekanan keuangan keluarga. Hal ini mengacu pada pendapatan rendah dan kurangnya tabungan dibandingkan dengan kebutuhan dasar.
Di sisi lain, dukungan sosial seperti keluarga besar dan tetangga juga sangat terbatas. Kondisi ini membuat masyarakat mengambil pinjaman di Bank Imok.
“Sederhananya, Bank Emock adalah jalan pintas agar dana darurat dapat cair dengan cepat tanpa menimbulkan beban bunga pinjaman. “Bahkan hanya sedikit keluarga yang melihat Bank Imok sebagai penyelamat keluarga,” ujarnya.
Dalam penelitiannya, Ewis mengidentifikasi kemungkinan untuk membantu rumah tangga yang terlilit utang Bank Imok, yakni melalui berbagai lembaga yang diberdayakan untuk mengelola keuangan masyarakat. Namun terbatasnya jumlah sumber pendanaan membuat implementasinya sulit dilakukan secara efektif.
“Potensi untuk membantu keluarga berpendapatan rendah sebenarnya ada, namun masih sulit untuk diwujudkan, karena sumber daya keuangan seperti sumbangan, amal, dan dana lainnya terbatas. Pada saat yang sama, banyak pihak yang membutuhkan dan tidak mungkin untuk menjangkau semua orang,” katanya.