iaminkuwait.com, JAKARTA — Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) menyatakan komoditas kelapa sawit di Indonesia telah menerapkan pola keberlanjutan, termasuk melalui sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO).
“ISPO dengan demikian telah memenuhi syarat keberlanjutan,” kata Sekretaris Jenderal CPOPC Rizal Affandi Lukman di Jakarta, Sabtu (4/5/2024).
Berdasarkan hal tersebut, lanjutnya dalam Focus Group Discussion (FGD) “Review Regulasi Sawit Indonesia” bahwa sertifikasi ISPO masih digalakkan, pasca adanya Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/EUDR).
Menurutnya, dukungan sertifikasi ISPO diperlukan untuk menunjukkan bahwa pola budidaya kelapa sawit yang diterapkan memenuhi persyaratan berkelanjutan, terutama sebagai persyaratan untuk terus mengekspor ke negara-negara Uni Eropa (UE).
Pada tahun 2023, Indonesia dan Malaysia akan menjadi eksportir minyak sawit terbesar di dunia, dengan masing-masing 28,6 juta ton (56 persen) dan 15,1 juta ton (29,6 persen).
Rizal mengatakan, meski ekspor ke Uni Eropa tidak besar, namun akan memberikan dampak yang signifikan bagi petani sawit karena terdapat kesenjangan antara regulasi EUDR dengan kondisi lapangan yang dihadapi petani sawit sehari-hari.
Sebab, peraturan tersebut menerapkan benchmarking atau pengelompokan negara pengekspor berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yakni risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah.
“Jadi dalam hal ini kami memastikan bahwa para petani sawit tidak tertinggal, oleh karena itu kami meminta UE untuk terus memberikan perhatian kepada para petani,” ujarnya.
Sedangkan minyak sawit berkelanjutan Rismansyah Danasaputra merupakan sebuah kebutuhan, bukan kebutuhan global, menurut Tim Penguatan dan Implementasi ISPO.
“Sertifikat Keberlanjutan ISPO merupakan panduan penting dalam membangun daya saing kelapa sawit di tingkat nasional, regional, dan global,” ujarnya.
Mantan Direktur Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian ini menjelaskan, pada tahun 2022, negara tujuan ekspor utama kelapa sawit Indonesia adalah Tiongkok 16,72 persen, India 11,13 persen, dan AS 6,07 persen, sedangkan untuk negara-negara Uni Eropa hanya akan menjadi negara tujuan utama ekspor kelapa sawit. kasusnya. hingga 12,7%.
Kepala Bidang Usaha Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Achmad Maulizal Sutawijaya menambahkan pentingnya sertifikasi ISPO untuk membuktikan kelapa sawit di Indonesia berkelanjutan.
Saat ini terdapat sekitar 2,4 juta petani mandiri yang bergerak di sektor kelapa sawit dengan 4,6 juta pekerja, tambahnya, artinya jika komoditas kelapa sawit tunduk pada aturan EUDR maka jutaan petani dan pekerja juga akan ikut merasakan dampaknya. .
Oleh karena itu, tambahnya, selain mendorong sertifikasi ISPO, kampanye positif juga harus lebih gencar dilakukan terhadap negara-negara yang melakukan diskriminasi dalam perdagangan sawit, seperti negara-negara Uni Eropa.
“Kami telah menetapkan strategi kampanye positif di Uni Eropa. Hal ini juga untuk menyeimbangkan pandangan terhadap kelapa sawit yang masih negatif di kalangan masyarakat dan pengambil kebijakan di Eropa,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perkebunan Provinsi Riau Defris Hatmjaja mengakui pentingnya bahan baku kelapa sawit, khususnya di Provinsi Riau yang banyak diikuti oleh petani.
Padahal, lanjutnya, dengan banyaknya lahan yang dimiliki petani, pola tanam yang mereka gunakan kini lebih baik dan memberikan hasil yang baik.
Artinya, jika pemasaran produk sawit terganggu maka perekonomian petani di Riau juga akan terganggu, kata Defris.