iaminkuwait.com, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memaparkan alasan pengambilan kebijakan penurunan suku bunga acuan atau BI rate dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) September 2024.
“Ada lima alasan mengapa sekarang saatnya menurunkan BI rate dan besarannya 25 basis poin,” kata Perry dalam konferensi pers RDG September 2024 di Kompleks BI, Jakarta, Rabu (18/9/2024).
Pertama, kejelasan arah penurunan suku bunga (FFR) Federal Reserve yang mencerminkan menurunnya kondisi perekonomian Amerika Serikat. Menurut analisis mereka, bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve kemungkinan akan menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada bulan ini di acara FOMC.
Perkiraan kami dengan data terkini kemungkinan penurunan masing-masing 25 basis poin pada September, November, dan Desember, ujarnya.
Perry menjelaskan, FFR berdampak pada US Treasury tenor 2 tahun yang digunakan investor asing dalam menentukan pembelian Surat Berharga Bank Indonesia Rupiah (SRBI). Obligasi US Treasury bertenor 2 tahun saat ini disebut-sebut mengalami penurunan, bahkan lebih kecil dibandingkan obligasi US Treasury bertenor 10 tahun.
“Ini berarti diversifikasi pendapatan yang lebih tinggi dengan negara-negara berkembang, sehingga mendorong arus masuk yang besar, termasuk di Indonesia. Portfolio inflow (aliran masuk modal asing) sebesar $10,1 miliar (ytd) pada kuartal ketiga,” ujarnya.
Selain itu, indeks dolar AS juga melemah seiring dengan penurunan suku bunga yang dilakukan Bank Sentral Eropa (ECB). Kebijakan ECB memastikan pertumbuhan ekonomi Uni Eropa bergerak positif sehingga berdampak pada penguatan euro dan melemahnya dolar AS.
“Ketiga hal ini (kejelasan FFR tidak hanya lebih cepat tapi jauh lebih tinggi, pengurangan Treasury AS lebih besar dan akan mempengaruhi suku bunga SRBI, dan nilai tukar dolar cenderung melemah) menjadi alasannya. Jadi kami mengukur probabilitas itu, jadi tidak perlu menunggu FFR turun,” jelasnya.
Lalu, pertimbangan kedua adalah stabilnya pergerakan nilai tukar rupee bahkan cenderung menguat. Perry mengaku mempertahankan suku bunga tersebut karena sangat peduli dengan stabilitas nilai tukar rupee.
“Dengan langkah-langkah yang dilakukan selama ini, termasuk penerbitan SRBI, rupiah menguat pada kisaran Rp15.300 – Rp15.400, yang jika dibandingkan sebelumnya berada pada kisaran Rp16.500 – Rp16.700,” kata Chester.
Berdasarkan catatan BI, kepemilikan nonresiden di SRBI mencapai hingga Rp246,08 triliun. Angka tersebut menyumbang 26,79 persen dari total peredaran sehingga memberikan dukungan bagi stabilitas nilai tukar rupee.
Ketiga, inflasi menurun. Bahkan, terjadi deflasi dalam empat bulan berturut-turut. Hal ini tercermin dari rendahnya angka inflasi indeks harga konsumen (IHK) seluruh komponen yang mencapai 2,12 persen (year-on-year) pada Agustus 2024.
Inflasi inti tercatat sebesar 2,02 persen (yoy), sedangkan inflasi volatil food (VF) terus menurun menjadi 3,04 persen (yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 3,63 persen (yoy).
Oleh karena itu, BI harus memperkuat komitmennya untuk menjaga sasaran inflasi terkendali sebesar 2,5±1 persen pada tahun 2024 dan 2025.
Pertimbangan keempat adalah kebijakan moneter yang seimbang, jauh dari pro-stabilitas. Perry menjelaskan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menurunkan suku bunga guna mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sejauh ini, BI telah mendukung pertumbuhan ekonomi setidaknya melalui tiga cara: melalui pembiayaan kredit, insentif kebijakan likuiditas makroprudensial, dan sistem pembayaran.
Berdasarkan catatan mereka, kebijakan makroprudensial insentif likuiditas sebesar Rp256,1 triliun, rincian bank pemerintah Rp118,6 triliun, BUMS Rp110,5 triliun, BPD Rp24,4 triliun, dan KCBA Rp2,6 triliun.
“Jadi ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tiga kebijakan sudah dimulai, kebijakan moneter sudah mulai seimbang, sebelumnya berpihak pada stabilitas dan sekarang keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan. “Sementara itu, makroprudensial dan sistem pembayaran sejak awal sudah mendukung pertumbuhan,” kata Perry.
Kelima, mempertimbangkan kemungkinan untuk terus mendorong penyaluran kredit ke perbankan. Selain itu juga mendukung masalah fiskal khususnya pembiayaan pajak.
“Bersamaan dengan insentif likuiditas, kami berharap penurunan suku bunga ini akan disambut baik oleh perbankan sehingga semakin aktif dalam penyaluran kredit. Suku bunga simpanan dan kredit juga menurun sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya. menjelaskan.