iaminkuwait.com, Jakarta – Profesor Didin Damanhuri dari Universitas Paramadina menyoroti kemerosotan sektor industri Indonesia pada dekade pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) selalu lebih tinggi dari rata-rata perekonomian nasional.
“Pada masa Soeharto pertumbuhan sektor industri antara 12-14 persen dan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Pada masa revolusi rata-rata pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dan sektor industri sekitar 4 persen,” kata Didik dalam siaran persnya. konferensi. “Ekspektasi Kebijakan Ekonomi Prabowo (Tidak Mungkin Mencapai 8 Persen Tanpa Pembangunan Industri)” di Jakarta. Pada Minggu (22/9/2024)
Didin mengatakan, lemahnya sektor industri berdampak besar terhadap penciptaan lapangan kerja. Artinya, 60 persen hingga 70 persen angkatan kerja Indonesia saat ini berada di sektor non-pekerjaan.
Oleh karena itu, mereka yang tidak bisa memasuki dunia kerja, apalagi di perusahaan, memilih tempat umum, kata Didin.
Didin mengatakan, 1 persen pertumbuhan ekonomi era Soeharto bisa menciptakan sekitar 700.000 lapangan kerja. Masa transisi mengalami kegagalan yang serius. Hal ini hanya menciptakan 200.000 lapangan kerja untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi.
Didin melanjutkan, “Itulah yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi negara dari waktu ke waktu.
Didin mengatakan peristiwa ini merupakan indikasi baik stagnasi industri di kota tersebut.
Didin mengatakan, janji reformasi industri biasanya hanya janji politik di setiap pemilu. Diddin menyebut tidak adanya fokus pembangunan industri dalam Nawacita Jokowi sebagai contoh.
“Terakhir, pemerintah 2019-2024 sudah banyak membangun infrastruktur. Ini rencana sebenarnya sudah dimulai pada masa SBY,” kata Didin.
Didin mengatakan, alih-alih fokus pada produktivitas, Jokowi justru melakukan pembangunan yang tidak sesuai rencana awal, seperti kereta cepat di Kawasan Ibu Kota Negara (IKN) yang tidak berdampak pada pengentasan kemiskinan, tapi justru pengurangan tenaga kerja.
“Dengan demikian dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia menghadapi proses reformasi industri yang kuat dari hampir 30 persen pada akhir pemerintahan Soeharto menjadi 18 persen pada akhir pemerintahan Jokowi,” kata Didin.