iaminkuwait.com, Jakarta – Pengamat ekonomi Indonesian Institute for Strategic and Economic Action Ronny P Sasmita memperkirakan pajak pertambahan nilai akan meningkat hingga 12% pada tahun 2025. Hal itu akan memberikan tekanan pada daya beli masyarakat.
“Karena perusahaan penyedia barang dan jasa biasanya tidak mau membayar PPN, maka jalan yang biasa mereka tempuh adalah dengan membebankan beban kenaikan PPN kepada konsumen dengan menaikkan harga,” kata Roni saat dihubungi di Jakarta, Selasa. 19 November 2019).
Dia mengatakan pajak atas berbagai barang berwujud seperti elektronik, fesyen, dan mobil akan berdampak pada penjualan, termasuk barang-barang yang dikonsumsi masyarakat secara rutin.
Sementara itu, pemerintah belum mengambil keputusan mengenai upah minimum provinsi (UMP) tahun 2025. Ia juga ingin penetapan gaji pada tahun 2025 memperhitungkan inflasi sebagai salah satu komponen UMP.
Dikatakannya, karena jika pendapatan masyarakat tidak meningkat setelah harga barang dan jasa naik, maka akan semakin menekan permintaan produksi barang dan jasa tersebut dan mempengaruhi produksi.
“Kenaikan kecil ini (PPN menjadi 12%) akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah, yang pendapatannya sangat-sangat tertekan selama dua tahun terakhir sejak pandemi,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Shri Mulyani Indrawati mengatakan ada rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025. akan tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan Undang-Undang (UU).
Pembahasan PPN 12% masuk dalam Undang-Undang Harmonisasi Ketentuan Perpajakan (HPP) yang dirancang pada tahun 2021. Pemerintah kemudian mempertimbangkan status kesehatan dan kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19.
Shri Mulyani mengatakan, “Artinya, ketika kita merumuskan kebijakan perpajakan termasuk PPN, tidak dilakukan secara membabi buta, seolah-olah kita tidak mengidentifikasi atau fokus pada sektor lain seperti kesehatan atau bahkan pangan pokok saat itu.”