REPUBLIKA.C.O.ID, JAKARTA – Peningkatan jumlah kasus dan risiko penyebaran arbovirus dinilai perlu dilakukan pengembangan vaksin baru. Hal tersebut diungkapkan oleh Project Leader Vaksin mRNA dan Virus Vektor Bio Farma, Dr Indra Rudiansyah, dalam acara Arbovirus Summit yang ditayangkan di kanal YouTube resmi Kementerian Kesehatan RI di Jakarta, Selasa (23/04/2024). ).
Indra mengatakan strategi utama untuk memerangi arbovirus adalah dengan mengendalikan agen penyebab arbovirus, seperti penggunaan pestisida atau nyamuk yang terinfeksi Wolbachia. “Namun, dimungkinkan juga untuk memasukkan senyawa baru sebagai senyawa timbal dalam pestisida untuk mengurangi atau mengendalikan faktor-faktor tersebut. Namun, tidak ada jaminan bahwa strategi alternatif di masa depan akan mampu menghilangkan arbovirus sepenuhnya. Jadi kita juga perlu melakukan proteksi dalam rangka meningkatkan imunitas,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dulu penggunaan pestisida merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah nyamuk. Namun dia menambahkan, saat ini banyak nyamuk yang kebal terhadap pestisida. Oleh karena itu, kata dia, vaksin penting dalam pengobatan arbovirus.
Ia menjelaskan, saat ini banyak vaksin untuk melawan penyakit arboviral yang tersedia, seperti vaksin demam kuning yang diberikan kepada orang yang bepergian atau tinggal di daerah endemis. Ia mengatakan ada juga vaksin untuk melawan chikungunya yang baru saja disetujui, namun penggunaannya di Amerika masih terbatas.
“Ada juga sejumlah vaksin untuk melawan Japanese ensefalitis. WHO sudah memberikan tiga diantaranya sertifikat PQ,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa ada vaksin Dengvaxia yang digunakan untuk mengobati demam berdarah, yang diberikan kepada orang yang terinfeksi HIV. Selain arbovirus yang menyerang manusia, seperti demam berdarah, chikungunya, dan zika, ada juga yang bisa menyerang hewan, seperti demam Rift Valley (RVF). Menurut dia, penyakit tersebut dapat menimbulkan beban ekonomi karena berakibat fatal bagi ternak.
“Ada banyak arbovirus yang bisa menyebabkan epidemi lain, seperti CCHF (demam berdarah Krimea-Kongo),” ujarnya.
Saat ini, kata dia, vaksin CCHF dan dua vaksin RVF baru tersedia. Oleh karena itu, perlu dilakukan diversifikasi pengembangan vaksin terhadap penyakit-penyakit yang mungkin menjadi epidemi di masa depan. Ia percaya bahwa teknologi apa pun yang memungkinkan pengembangan vaksin, diagnostik, dan pengobatan akan sia-sia jika masyarakat tidak memiliki akses yang sama terhadap teknologi tersebut. Ia menilai transfer teknologi itu perlu.
Dia mengatakan pemikiran tentang mRNA telah secara efektif meningkatkan perlindungan terhadap Covid-19 dan membuka kemungkinan penerapannya pada penyakit lain. “Oleh karena itu, untuk mendorong pemerataan, WHO dan MPP telah meluncurkan program transfer teknologi mRNA sehingga produsen lokal dapat memproduksi vaksin mRNA dan meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi pandemi,” ujarnya. Dikatakannya, teknologi tersebut telah dialihkan kepada 15 mitra termasuk Indonesia yang diwakili oleh Bio Farma.