P2G: Karena Program Merdeka Belajar, Skor Nadiem Justru Makin Jeblok

iaminkuwait.com, Jakarta – Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Persatuan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta legislatif mengevaluasi program Merdeka Belajar. Sejak era Nadia Makarem tahun 2019, jumlah episode serial Merdeka Belajar mencapai 26 episode.

“P2G mengimbau DPR RI dan DPD RI mengevaluasi program Merdeka Belajar yang telah berjalan 26 episode sejak dilantiknya Nadim Makarem pada tahun 2019,” kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim dalam keterangannya, Senin (05/06/2024). ). .

Menurutnya, lembaga independen, khususnya organisasi profesi guru, harus melakukan penilaian secara umum terhadap kebijakan pendidikan era Nadiam. Hal ini diperlukan untuk memastikan kelanjutan atau penghentian kebijakan ini benar-benar objektif, berorientasi pada perbaikan, jujur, dan berbasis data.

“Setelah hampir lima tahun menjabat, belum banyak perubahan yang dilakukan untuk membenahi lembaga pendidikan dan guru, meski sudah hadir 26 kalangan pendidikan mandiri. “Misalnya, pada hasil PISA, skornya kini justru lebih buruk, bahkan terendah dalam 10 tahun terakhir.”

Kepala Advokasi P2G, Iman Zanatul Khairy, mengatakan Asr El Nadeem sangat gemar menciptakan istilah-istilah yang intinya masih berupa istilah atau slogan untuk “mempromosikan” program-programnya. Beberapa diantaranya adalah: Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, Kurikulum Merdeka, Platform Merdeka Belajar (PMM) dan lain-lain.

“P2G menilai, baru pada era Mas Nadiemlach istilah yang sebenarnya hanya idiom ini menjadi mubazir sehingga penonton tidak memahaminya apalagi mengingatnya. Apa isi dari 26 episode Merdeka Belajar itu? Bedanya Instruktur Mengemudi dan Instruktur Selain Pengemudi? Iman mengatakan, “Dulu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tidak demikian.”

P2G juga berharap kebijakan seperti Program Mobilisasi Guru (PGP) yang anggarannya mencapai Rp3 triliun bisa dihentikan pada tahun 2024. Ia menyebut program tersebut melanggar UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. PGP bersifat diskriminatif, eksklusif, tidak adil dan tidak mengedepankan prinsip persamaan kesempatan.

Ia menambahkan, pada masa Nadeem, para guru juga terbagi dalam perwalian dengan nama berbeda-beda. Ada istilahnya: guru kepemimpinan, guru pembuat konten, guru fasilitator, guru komite pembelajaran dan lain-lain. Jelas, hal ini menimbulkan klasisme di kalangan guru dan eksklusivitas serta menyulut konflik horizontal antar guru.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *