BEM SI: Masalah UKT Buntut dari Aturan Mendikbudristek

iaminkuwait.com, JAKARTA — Badan Pengurus Besar Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terjadi di banyak perguruan tinggi negeri (PTN) sudah hilang akibat Peraturan Nomor 21 Tahun 2018. 2 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2024. Dimana, peraturannya Hal lain yang juga mempengaruhi adalah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 54 Tahun 2024.

“Setelah ditelaah, ini tanggapan Rektor. (UKT) mengacu pada Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 disusul Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2024 yang mengatur tentang SSBOPT,” kata BEM SI Bidang Pendidikan Tinggi. Koordinator Maulana Ihsanul Huda, dikutip dalam tayangan YouTube Komisi X DPR RI, Jumat (17/5/2024).

Presiden BEM Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menjelaskan, di Unsoed pihaknya melakukan beberapa upaya. Diawali dengan demonstrasi, masyarakat berbicara langsung ke pihak pastoran, namun tidak pernah menemukan titik temu. Nilai UKT belum mengalami perubahan yang signifikan.

“Contohnya di kampus saya, jatuhnya hanya pada kelompok terbesar sebesar Rp 81 ribu (dari nilai sebelumnya Rp 14 juta). Ini sungguh membuat kami khawatir. Tidak hanya di Unsoed. Di Universitas ‘Mataram , Universitas Bengkulu, Universitas Negeri Yogyakarta, UNS, “Undip, Unes, UIN Jakarta, Unbraw juga mengalami peningkatan,” ujarnya.

Di Unsoed, kata dia, mahasiswa khawatir dengan kenaikan UKT yang mencapai 300-500 persen. Di Fakultas Peternakan, kampusnya, peningkatannya signifikan dari Rs 2,7 crores sebelumnya menjadi Rs 14 crores pada level tertinggi. Oleh karena itu, menurutnya, hal itu membuat marah para pelajar.

“Jadi kita perkenalkan secara nasional. Karena tidak hanya di Unsoed, tapi di banyak universitas juga. Jadi kita sampai di sini BAIK SI (DPR RI),” ujarnya.

Ditambahkannya, di Unsoed, Peraturan Rektor Nomor 9 Tahun 2024 yang mengatur tentang UKT masih berjalan. Di sisi lain, waktu pendaftaran online juga terus berlanjut. Oleh karena itu, mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi sangat terdesak waktu.

“Khusus di Unsoed, tercatat lebih dari 100 orang masih merasa tidak mampu membayar sejumlah UKT. Itu salah satu rasa pedih kami sebagai sesepuh. Makanya kami terus memperjuangkan adik-adik kami,” jelasnya.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan tidak semua lulusan Sekolah Menengah Pertama (SLTA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) wajib masuk perguruan tinggi. Sebab, pendidikan tinggi termasuk dalam pendidikan tinggi atau pendidikan tinggi, bukan pendidikan wajib.

Artinya, tidak semua lulusan SMA, lulusan SMK wajib masuk perguruan tinggi. Itu hakikatnya adalah pilihan. Siapapun yang ingin berkembang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. iya, ini pilihan, tidak wajib,” kata Sekretaris Ditjen Dikti, Ristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Tjitjik mengatakan, pendidikan tinggi berbeda dengan pendidikan wajib, artinya pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah/vokasi. Konsekuensinya, pendanaan pemerintah untuk pendidikan lebih diprioritaskan dibandingkan pendanaan wajib belajar. Sebab, kata dia, hal itu merupakan amanah undang-undang.

“Dan pendidikan tinggi? Tentu saja pemerintah tetap bertanggung jawab. “Tetapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN),” jelasnya.

Ia menjelaskan, idealnya besaran BOPTN yang diberikan sama dengan biaya kuliah tunggal (BKT). Jika pemerintah bisa memberikan dana BOPTN setara BKT, maka pendidikan tinggi akan digratiskan. Namun permasalahannya adalah pendanaan pendidikan di Indonesia yang tidak mencukupi.

“Karena prioritas utama adalah wajib belajar. “Sehingga hingga saat ini bantuan BOPTN kepada perguruan tinggi belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan operasional tenaga pengajar”, ​​ujarnya.

Oleh karena itu, kata Tjitjik, mau tidak mau partisipasi masyarakat atau gotong royong sangat diperlukan untuk mencerdaskan bangsa ini. Menurutnya, gotong royong diperlukan masyarakat dalam mengakses pendidikan tinggi dengan harapan semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

“Jadi begitu BKT ditetapkan, kami melihat bantuan pemerintah tidak cukup dengan BKT, makanya kami memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk memungut biaya kuliah tunggal (UKT),” jelasnya.

Meski demikian, dia menegaskan pemerintah tetap melarang komersialisasi perguruan tinggi negeri. Hal itu, kata dia, jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dimana selain melarang komersialisasi, perguruan tinggi negeri juga harus bersikap inklusif.

“Pendidikan tinggi harus dapat diakses oleh masyarakat yang berkemampuan akademis tinggi, baik masyarakat kurang mampu maupun masyarakat mampu atau berkecukupan. “Ini politik,” kata Tjitjik.

Untuk mengakomodir hal tersebut, dalam penetapan UKT pemerintah mengatur kelompok UKT I dan UKT II. Dimana UKT I Rp500 ribu dan UKT II Rp1 juta. Disebutkan, pengaturan kedua kelompok UKT tersebut dilakukan untuk memastikan masyarakat yang berkemampuan akademik tinggi namun kurang mampu secara ekonomi dapat mengakses pendidikan yang lebih berkualitas.

Penerima UKT kelompok I dan II minimal juga telah diatur dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Riset dan Teknologi sebesar 20 persen dari kuota mahasiswa. Sebaliknya, sebagai bentuk pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk bekerjasama mendanai pendidikan tinggi, maka perguruan tinggi diberikan otonomi kewenangan untuk menentukan UKT Kelas III dan seterusnya.

“Apakah gratis? Tidak. Ada batasannya. Apa batasannya? UKT tertinggi tidak bisa mengalahkan BKT. Mengapa UKT tertinggi tidak bisa mengalahkan BKT?” kebutuhan mereka sendiri” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *