Pengamat Sebut Indikator Persentase Rasio Utang terhadap PDB Bisa Menyesatkan, Kok Bisa?

iaminkuwait.com, JAKARTA — Pengamat ekonomi Yusuf Wibisuno menyampaikan pandangannya terhadap rasio utang negara yang naik hingga 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski angka tersebut masih kurang dari 60 persen PDB, Yusuf menilai diperlukan pemahaman yang lebih realistis berdasarkan kemajuan ekonomi yang telah terjadi. 

Yusuf menjelaskan, pada hakikatnya utang dan defisit anggaran pemerintah merupakan kebijakan counter-cyclical, yaitu kebijakan yang bertujuan untuk melawan pelemahan perekonomian dengan mendorong belanja pemerintah yang mempunyai multiplier effect terbesar terhadap perekonomian, misalnya belanja modal dan transfer pendapatan kepada masyarakat miskin.

Dengan kata lain, kebijakan defisit anggaran dan penciptaan utang merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah agar dapat memprioritaskan dan meningkatkan dana pada pos-pos pengeluaran besar yang diperlukan.

“Namun, meskipun utang Indonesia tumbuh dan semakin besar, terdapat anomali di mana belanja negara yang ‘terikat’ atau non-diskresioner secara konsisten mendominasi belanja negara,” kata Yusuf kepada Republica, Jumat (12/7/2024).

Ia mengatakan, kebijakan utang dan defisit anggaran tidak berimplikasi pada peningkatan kapasitas fiskal sehingga diskresi belanja seperti belanja infrastruktur dan belanja sosial tidak pernah meningkat dan mendominasi.

“Pengeluaran pemerintah kita selama ini dan terus ditopang oleh belanja yang terbatas, khususnya belanja pegawai, belanja barang dan pembayaran bunga utang publik,” ujarnya.

Menurut catatan mereka, belanja pegawai merupakan belanja pemerintah pusat yang terbesar pada masa Presiden Indonesia Joko Widodo periode 2015-2024, diperkirakan mencapai Rp3.707 triliun atau 21,3% dari total belanja pemerintah pusat

Belanja negara terbesar berikutnya pada era Jokowi adalah sebesar Rp3.674 triliun atau 21,1 persen belanja barang dan 17,7 persen dari total belanja pemerintah pusat sebesar Rp3.067 triliun atau pembayaran utang.

“Secara total, belanja diskresi pada masa Presiden Jokowi mencapai Rp10,448 triliun atau 60 persen dari total belanja pemerintah pusat. Dengan kata lain, hanya 40 persen belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk belanja infrastruktur dan sosial.

Yusuf mengatakan sisa ruang fiskal untuk belanja diskresi lebih menarik untuk pembangunan infrastruktur dibandingkan subsidi energi dan biaya tambahan bahan bakar atau belanja lainnya.

Di bawah Presiden Jokowi, subsidi energi dan belanja lainnya diperkirakan mencapai Rp2.774 triliun atau sekitar 16 persen dari total belanja pemerintah pusat. Sedangkan untuk belanja pembangunan infrastruktur, belanja modal, hanya dialokasikan Rp2.130 triliun atau 12,3 persen dari total belanja pemerintah pusat. Sedangkan belanja negara adalah belanja sosial sebesar Rp1.235 triliun (7,1 persen) dan subsidi nonenergi sebesar Rp784 triliun (4,5 persen).

“Belanja modal, subsidi, dan alokasi bantuan sosial tetap konstan, meski proporsinya menurun.” Dengan demikian, kebijakan utang defisit anggaran di Indonesia bukan hanya sebatas preferensi yang berpihak pada birokrasi dan kepentingan investor. Masyarakat, tetapi juga salah menargetkan biaya-biaya penting bagi perekonomian. Malah alokasi anggarannya berkurang,” jelasnya.

Lantas, apakah diskon sebesar 50 persen itu benar-benar aman?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *