Airlangga Ungkap Potensi Resesi Indonesia Hanya 1,5 Persen

iaminkuwait.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Erlanga Hararto mengatakan kontraksi perekonomian Indonesia hanya 1,5 persen. Kemungkinan ini lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Jerman yaitu 60 persen, Italia (55 persen), Inggris (40 persen), Australia (32,5 persen), Amerika Serikat (30 persen), Thailand (30 persen), Rusia (30 persen). ) 17,5 persen, Korea Selatan (15 persen), Tiongkok (12,5 persen).

“Peluang terjadinya krisis di Indonesia hanya 1,5 persen, lebih rendah dibandingkan hampir semua negara,” kata Erlanga di Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Erlanga menjelaskan, kemungkinan terjadinya krisis di Indonesia sebesar 1,5 persen. – merupakan yang terkecil di dunia dibandingkan negara lain. Ia menjelaskan, meski dunia berada di bawah tekanan geopolitik global, namun Indonesia masih jauh dari ambang krisis. Hal ini tercermin dari pertumbuhan perekonomian Indonesia yang pada paruh pertama tahun 2024 mencapai 5,11 persen pada kuartal tersebut.

Dia berkata: “Pertumbuhan ekonomi kami adalah yang tertinggi yang pernah terjadi dan jika Anda melihat berbagai lembaga pemeringkat, mereka positif.”

Ia menambahkan, sejauh ini berbagai indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan kondisi yang stabil dibandingkan negara lain.

Dari segi inflasi Indonesia pada tahun 2024 pada bulan April mengalami inflasi sebesar 3 persen, lebih rendah dibandingkan negara lain. Indonesia hanya dikalahkan oleh Korea Selatan dan Jerman yang inflasinya masing-masing sebesar 2,9 persen dan 2,2 persen.

Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Indonesia mencatatkan angka sebesar 52,9 persen. Erlanga memperkirakan Indonesia masih menjadi salah satu negara paling tangguh di dunia.

Dari sisi regional, pertumbuhan ekonomi Indonesia paling besar terjadi di wilayah timur, yakni di Provinsi Maluku dan Papua sebesar 12,15 persen, Sulawesi (6,35 persen), dan Kalimantan (6,17 persen).

“Pertumbuhan ekonomi ketiga wilayah ini terutama didorong oleh aktivitas pertambangan, industri logam, dan pengembangan IKN.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *