REPUBLIK.CO.
“Kedelai ini ditanam pada musim kemarau (gado/kering, redaksi) setelah panen kedua,” ujarnya.
Meski demikian, diakuinya ada beberapa petani yang rutin menanam kedelai di daerah tertentu. Terkadang kami memeriksa ramalan cuaca untuk melihat apakah masih ada kemungkinan hujan.
Dengan tidak adanya hujan, para petani mencoba mencari tahu apakah ada saluran irigasi yang dapat memberikan akses air hingga tanaman kedelai dipanen, katanya.
“Oleh karena itu, selama ini luas areal budidaya kedelai di Banyoma sudah mencapai 2.000 hektare. Saya berharap musim kedelai kali ini bertambah lagi menjadi 2.000 hektare dengan hasil 1,5 hingga 1,7 ton per hektare.”
Soal mahalnya harga produk kedelai dalam negeri dibandingkan kedelai impor, kata dia, hal tersebut dikarenakan penanaman kedelai dalam negeri hanya dilakukan di daerah tertentu. Petani juga kerap enggan menanam tanaman tersebut ketika terjadi anomali cuaca.
Selain itu, kata dia, hasil panen kedelai di Banium dan wilayah lain di Indonesia lebih rendah dibandingkan di negara Amerika Latin seperti Brazil dan Argentina. “Akibatnya, petani kita menanam kedelai lebih sedikit dan luas lahan budidaya semakin menyusut. Selain itu, budaya bertani kita tidak terbiasa menanam kedelai terus menerus setiap tahunnya sehingga produksi kedelai di Banium tidak bisa memenuhi kebutuhan kedelai masyarakat Banium,” ujarnya. dikatakan.
Ia mengapresiasi harga kedelai lokal yang lebih tinggi dibandingkan kedelai impor yang digunakan produsen tempe dan tahu. Menurutnya, hal ini menunjukkan konsumen atau masyarakat Indonesia bisa menghargai kualitas kedelai lokal sehingga harganya lebih mahal dibandingkan produk kedelai impor.
“Kedelai kita rasanya lebih enak, itu GMO (genetically Modified Organism),” ujarnya.