Berkaca dari Kasus Nyoman Sukena, Pahami Hukum Pelihara Landak Jawa

iaminkuwait.com, JAKARTA – Ai Nyoman Sukina (38), warga Bungkasa Pertiwi (Abiansimal, Kabupaten Badung, Bali), menjadi tahanan rumah setelah ditangkap dalam kasus memelihara landak jawa (Hystrix javanica). Dia didakwa melanggar Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Mengapa memelihara landak jawa termasuk tindak pidana? Landak jawa merupakan salah satu jenis hewan pengerat yang masuk dalam Undang-Undang Perlindungan Satwa berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2028 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan tersebut. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK /SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Perlindungan Jenis Tumbuhan dan Satwa Alam.

Karena statusnya yang dilindungi, landak jawa tidak bisa dipelihara sembarangan. Jika seseorang ingin mengoperasikan atau membuka peternakan babi di Pulau Jawa, maka harus mengajukan izin terlebih dahulu ke Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Sedangkan jika ada yang memelihara landak jawa tanpa izin bisa dikenakan sanksi pidana, seperti yang dialami Ai Nyoman Sukina.

Satwa yang dilindungi tunduk pada beberapa peraturan perundang-undangan. Pertama, Pasal 21 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 mengatur bahwa setiap orang dilarang memburu, melukai, membunuh, memelihara, memelihara, mengangkut atau memperdagangkan hewan hidup atau mati.

“Barangsiapa dengan sengaja melanggar pasal tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. Sepanjang barang siapa tidak melakukan pelanggaran, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp lima puluh juta,” bunyi surat keputusan yang dikutip Jumat (13/9) dari situs KLHK 2024).

Selain itu, peraturan tambahan berlaku untuk izin penangkaran. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Pemuliaan Tumbuhan dan Satwa Liar. Terhadap hewan di unit penangkaran mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor B19 Tahun 2015 khususnya Ayat 2 tentang kepemilikan dan keabsahan hewan penangkaran asli.

Unit penangkaran sendiri merupakan suatu unit usaha yang hasilnya diperjualbelikan atau dijadikan sebagai benda yang menghasilkan keuntungan komersial dari hasil penangkaran untuk generasi kedua (F2) dan selanjutnya. Sampel yang diperoleh dari pembiakan generasi kedua dan selanjutnya diperlakukan sebagai sampel tidak terlindungi setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. hal. 19 tahun 2005.

Pemegang izin penangkaran juga harus menandai spesimen hasil penangkaran dengan cara memberi tanda permanen baik berupa label, stempel, maupun tanda pada tubuh hewan tersebut. Tujuannya adalah untuk membedakan antara induk dan keturunannya, keturunan dari keturunan lainnya, atau antara individu hasil penangkaran dan individu hasil penangkaran dari alam liar.

“Oleh karena itu, spesimen hasil penangkaran harus diberi tanda untuk membedakan spesimen hasil tangkapan liar, hasil penangkaran generasi pertama, hasil penangkaran generasi kedua, dan lain-lain,” kata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *