iaminkuwait.com, JAKARTA — Perubahan pemikiran (rethinking) menjadi solusi kekerasan gender yang bisa dimulai dari pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, perempuan bukanlah sumber stigma dan perubahan paradigma. Menyalahkan korban karena mendukung korban.
“Setelah peninjauan tersebut, kita perlu memperkenalkan dan menerapkan rancangan program baru yang memperkuat kebijakan untuk mendukung pencapaian SDGs untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender (GBV), menciptakan program dan kegiatan yang fokus pada pencegahan dan penanganan GBV,” laporan nasional kata panitia. Perempuan (Komnas) Profesor Alimatul Qibtiyah, saat menghadiri seminar internasional di Aula Kasman Singodimedjo, FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dikutip dalam keterangan tertulis, Jumat (3/5/2024).
Selain itu, kita harus meningkatkan partisipasi seluruh pihak terkait, termasuk para pemuka agama, dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan, program, dan kegiatan terkait kesetaraan gender, keadilan, dan yang terpenting adalah perwujudan hak-hak reproduksi dan hak seksual. Ia bekerja sama untuk menegakkan hukum yang fokus pada pemenuhan kebutuhan hak-hak perempuan,” tambah Alimatuli.
Rektor UMJ Profesor Mamun Murod mengatakan lokakarya kebijakan dan praktik kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dan Australia memiliki agenda positif karena dapat memberikan perbandingan dan pembelajaran antara kebijakan dan praktik kekerasan dalam rumah tangga di kedua negara. Menurutnya, salah satu permasalahan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia adalah rendahnya kartu legal, tidak hanya faktor ekonomi dan politik.
“Kekerasan dalam rumah tangga masih dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia, perempuan mempunyai kedudukan yang relatif serius dan tinggi. Persentasenya lebih kecil,” kata Mamun.
Dekan FISIP UMJ, Prof Evie Satisp mengatakan, kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, terutama perempuan dan anak.
Ia mengatakan: “Saya berharap para peserta dapat belajar tentang kekerasan dalam rumah tangga dan memiliki pengetahuan lebih banyak tentang lingkungan hidup, karena Australia merupakan negara tetangga Indonesia yang dinilai memiliki aturan dan praktik kekerasan dalam rumah tangga yang lebih maju.
Bapak Woro Srihastuti Tulisianingr, Deputi Koordinator Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Remaja BPM dan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, menjelaskan kebijakan dan rencana aksi nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurutnya, pengurangan kekerasan dapat dipercepat melalui metode Pentahelix, khususnya berbagai aktor yang mempunyai tanggung jawab masing-masing, seperti pemerintah, media, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat.
Tantangannya adalah lemahnya perlindungan terhadap para korban. Oleh karena itu, yang bisa kita lakukan adalah mempercepat penyiapan regulasi dan kerja sama antara pemerintah federal dan daerah, jelas Voro.
Profesor Patrick O’Leary (Dosen, Sekolah Ilmu Kesehatan dan Pekerjaan Sosial, Universitas Griffith) memaparkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Australia: Suatu Tinjauan. Ia menjelaskan mengenai situasi di Australia bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah besar dan ancaman sosial, termasuk tingkat kekerasan dan dampaknya terhadap anak.
Lalu bagaimana menyikapi kekerasan dalam rumah tangga secara kebijakan, hukum, praktik, masyarakat dan penelitian.
Patrick mengatakan angka kekerasan dalam rumah tangga dapat dikurangi dengan upaya preventif yang dapat melakukan intervensi yang salah terhadap pelakunya, hal ini dapat dilakukan dengan intervensi baru yang berlandaskan nilai-nilai, namun didasari oleh bukti, sanksi hukum, inisiatif masyarakat, respon seluruh masyarakat terhadap menciptakan norma-norma sosial, pemerhati, otoritas lokal, perusahaan dan dunia usaha. Alat untuk intervensi dan pencegahan.
Profesor Donna McAuliffe (Profesor Pimpinan Akademik dan Disiplin Pekerjaan Sosial, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Griffith) berbicara tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Etika dalam Pekerjaan Sosial dan Pendidikan: Refleksi. Menurutnya, pelajar harus lebih berpikiran terbuka dan bisa berdampak positif terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dikarenakan siswa setia dan penuh kasih sayang serta memiliki pemahaman yang kuat tentang keadilan sosial untuk membantu orang lain dan korban.
Dr Amy Young (Peneliti di Disruptive Violence Beacon, Griffith University) membahas kekerasan dalam rumah tangga: intervensi pelaku kekerasan dan dampaknya terhadap anak-anak. Ia mengatakan respons layanan terpadu sangat penting untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, dan salah satu aplikasi tersebut, Be There App, dapat mendukung hal ini.