iaminkuwait.com, JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil merilis delapan rekomendasi quick win transisi energi yang berkeadilan pada 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Tujuan dari resolusi ini adalah untuk mendukung tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif dengan mempercepat transisi energi untuk mewujudkan ekonomi hijau, meningkatkan kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan, sejalan dengan visi dan misi Prabowo-Gibran di Asta Cita.
Dalam diskusi dengan Kelompok Pertumbuhan 8% Prabowo-Gibran dari Catadata Insight Center (KIC), koalisi masyarakat sipil menekankan pentingnya kebijakan energi yang memprioritaskan energi terbarukan dibandingkan energi baru seperti nuklir untuk transisi energi yang adil. Teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) dan gas alam mempunyai emisi tinggi dan mahal. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap kebijakan sektor energi, termasuk Kebijakan Energi Nasional dan RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU).
“Transisi energi dapat menciptakan lebih dari satu juta lapangan kerja ramah lingkungan pada tahun 2050, meningkatkan perekonomian masyarakat dan memperkuat perekonomian dengan cara ramah lingkungan yang lebih luas,” kata Indra Sari Wardani, direktur eksekutif Program Aliansi Indonesia.
Kedua, presiden baru harus segera menyusun peta jalan PLTU tanpa pensiun dini dan menyiapkan jaring pengaman, 4. berdasarkan keputusan presiden. Pada tahun tersebut, Agung Budyono, Direktur Jenderal CEAH, menyatakan Indonesia akan memperoleh manfaat ekonomi tambahan jika PLTU dipensiunkan lebih awal dan diganti dengan energi terbarukan.
Hasil riset Celios dan CEAH mengenai dampak ekonomi pensiun dini PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya diperkirakan berdampak hingga Rp82,6 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB), kata Agung.
Ketiga, insentif finansial untuk transisi ke energi terbarukan dan pembiayaan UKM dan koperasi untuk pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat harus diperkuat dan ditingkatkan. Kemudahan ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya kemandirian energi di tingkat masyarakat dan mengantisipasi peningkatan kebutuhan energi di masa depan.
Keempat, tata kelola lingkungan hidup, sosial dan baik (ESG/LST) harus menjadi persyaratan untuk mendapatkan izin investasi.
Koalisi sipil juga menekankan pentingnya evaluasi program-program yang dijalankan pada masa Presiden Joko Widodo demi transisi energi yang berkeadilan. Presiden terpilih sebaiknya mengkaji ulang program biofuel, yaitu biodiesel 50% (B50) dan bioetanol 10% (E10), serta program co-firing biomassa PLTU. Kedua program ini harus memperhatikan keadilan sosial, daya dukung lingkungan hidup, dan daya saing industri dalam negeri.
Menurut Nadia Haddad, Direktur Madani Sustainable Foundation, program B50 perlu dievaluasi kembali karena menurut penelitian Madani, daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah berada pada level kritis. Artinya, menghentikan pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit yang merupakan bahan baku biodiesel.
Kebijakan lain yang perlu dievaluasi adalah terkait Nilai Ekonomi Karbon (ECV). Presiden baru harus memastikan bahwa kebijakan NEK memiliki kerangka safeguards yang kuat dan mampu mendukung pencapaian target netral karbon, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam implementasinya. Hal ini harus dilakukan agar dekarbonisasi sektor industri dapat segera terwujud dan dana karbon dapat diberikan kepada sektor hijau guna mewujudkan ekonomi hijau.
“Dalam rangka memperkuat regulasi dan pengawasan jaring pengaman peralatan NEK, guna menghindari risiko sosial dan lingkungan hidup perusahaan, perlu dilakukan kegiatan pemetaan dan pengenalan NEK, termasuk tindakan wajib seperti Amdal dan perizinan alat. .transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan NEK”. kata Reynaldo G.Sembiring.