Radar Sumut, JAKARTA — Anak-anak yang kecanduan ponsel pintar, iPad, dan video game lebih mungkin menderita fenomena psikologis di kemudian hari, sebuah penelitian menunjukkan. Para peneliti menemukan bahwa penggunaan ponsel pintar dan media sosial selama masa remaja dikaitkan dengan paranoia, delusi, halusinasi, dan “pikiran aneh” pada usia 23 tahun.
Di sisi lain, para peneliti mengatakan bahwa teknologi mungkin bukan penyebab masalahnya. Kecanduan anak terhadap teknologi dapat menjadi tanda peringatan bahwa mereka rentan terkena penyakit mental.
“Peningkatan penggunaan media dan masalah kesehatan mental memiliki faktor risiko yang sama, seperti masalah kesehatan mental orang tua, kesepian, intimidasi, dan konflik orang tua-anak,” kata tim asal Kanada di balik penelitian tersebut, dilansir Daily Mail Relationship Problems. 4/2024).
Temuan tim dipublikasikan dalam jurnal JAMA Psychiatry. Mereka juga memperingatkan bahwa memaksa anak-anak yang kecanduan untuk berhenti menggunakan narkoba secara tiba-tiba mungkin tidak akan membantu dan bisa lebih berbahaya. Misalnya, tiba-tiba melarang mereka melihat perangkatnya.
Studi ini mengamati kebiasaan media dan pengalaman psikologis 2.120 warga Kanada yang lahir pada tahun 1997 dan 1998. Hasilnya adalah orang-orang yang secara signifikan mengurangi penggunaan komputer memiliki pengalaman psikotik lebih sering di masa dewasa, bahkan setelah mempertimbangkan pengalaman pribadi lainnya.
Penggunaan internet juga dikatakan lebih dikaitkan dengan depresi dibandingkan bermain video game atau menonton TV. Selain itu, permainan mungkin lebih membantu dalam pengembangan regulasi emosi dan keterampilan sosial dibandingkan teknologi pasif seperti televisi.
Para peneliti menyarankan dokter untuk mempertimbangkan alasan mengapa remaja yang kecanduan perangkat dan mengalami pengalaman psikologis menjadi kecanduan, daripada menyalahkan teknologi.
“Penggunaan teknologi digital secara berlebihan pada masa remaja mungkin merupakan indikator awal, bukan penyebab, masalah kesehatan mental di kemudian hari,” kata Dr Simona Skripkauskaite dari Universitas Oxford di Inggris.