iaminkuwait.com, JAKARTA — Saat itu pada tahun 1918 di Batavia, seorang pemuda asal Minahasa, Jansen, ingin mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Ia ngotot belajar di School of Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Pendidikan Kedokteran di Bumiputera.
Di STOVIA, Jansen bertemu dengan Hilman, pemuda asal Sunda, Sudir, pemuda asal Jawa, dan Arsan, pemuda asal Minang, lalu menjalin hubungan dengan mereka. Lolos dari setiap poin tersebut membuat mereka bahagia karena bersekolah di STOVIA, sekolah kedokteran pertama di Hindia Belanda.
Kisah Jansen, Hillman, Sudir dan Arsan ada dalam serial roman STOVIA. Kisah penulis Sania Rasid menceritakan tentang perjalanan mereka melalui pendidikan dan saat-saat ketika mereka harus memilih antara cinta, teman, keluarga dan impian mereka untuk menjadi seorang dokter suatu hari nanti.
Buku terbitan Gramedia Sastra Populer (KPG) ini merupakan novel berlatar belakang Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Penulis Sanja Rashid mengaku mendapat ide untuk menulis tentang kedokteran sekolah. Proses pembuatan novel dimulai 3,5 tahun lalu.
Sania melakukan penelitian dan wawancara dengan pemangku kepentingan serta melakukan studi literatur, termasuk membaca buku kedokteran dan anatomi. Selain itu, wanita kelahiran September 1980 ini juga menulis cerita seputar dunia kedokteran dan menyajikan laporan mengenai operasi jantung.
Setelah dirasa sudah cukup melakukan riset, Sania mulai menulis naskahnya. Ia menghadapi kendala serius, karena halaman-halaman dokumen yang ditulisnya hilang, sehingga pengerjaannya harus dimulai dari awal lagi. Tapi itu tidak menghentikannya.
“Saya menulis Romance Stovia untuk mengenalkan generasi muda pada sejarah, walaupun menggunakan bahasa sastra, namun ringan dan mudah dipahami,” kata Sania dalam pengenalan Romance Stovia, Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Sabtu (1/). 6/2024).
Meskipun cerita dan romansa dalam buku ini bersifat fantasi, namun keakuratan setting dalam Romance STOVIA tercatat dalam sejarah. Sania ingin memperkenalkan babak penting dalam sejarah Indonesia dengan cara yang menyenangkan dan dapat diterima oleh generasi muda. “Membaca ceritanya tidak membosankan, tidak membuat tertidur, ceritanya menarik,” kata Sanja.
Penerbitan roman STOVIA di Museum Kebangkitan Nasional merupakan kerjasama KPG dengan Museum Kebangkitan Nasional dan Badan Peninggalan Indonesia. Acara ini disponsori bersama oleh Gema STOVIA Nusantara dan Keroncong Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.