Pemerintah Ingin Pungut Iuran Pariwisata dari Tiket Pesawat, Pengamat: Tidak Etis

Radar Sumut JAKARTA – Sejumlah pihak menentang rencana pemerintah yang mengenakan biaya perjalanan melalui tiket pesawat. Analis penerbangan Alvin Lie menilai rencana mengenakan biaya pariwisata tidak etis dan melanggar perjanjian internasional sehingga akan menaikkan harga tiket pesawat.

“Pemerintah ingin mengatakan sistem pemungutan retribusi tidak etis, tapi kami tidak ingin harga tiket naik dan tidak dipungut sesuai kesepakatan internasional,” ujarnya. Alvin adalah Republika; Dalam keterangannya, Senin (22 April 2024).

Sebelumnya, melalui akun media sosial pribadinya, aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden tentang Pembiayaan Pariwisata Berkelanjutan (Perpres).

Alvin menanyakan lebih lanjut mengenai biaya perjalanan sebenarnya dari tiket pesawat tersebut. Faktanya, tidak semua pelancong adalah wisatawan, katanya.

Kenapa dipaksakan pada pengguna jasa udara? Orang yang terbang punya pemakaman, undangan yang berbeda-beda, dan mayoritas lebih dari 70 persen untuk urusan dinas, urusan bisnis, rapat kerja, katanya.

Berdasarkan survei pada Januari 2024 yang dilakukan di lima bandara besar di Indonesia, hanya 12,1 persen dari 7.414 pemegang boarding pass yang memiliki tujuan perjalanan atau liburan. Sebagian besar perjalanan adalah perjalanan bisnis; Urusan bisnis dan urusan lainnya.

“Hanya 12,1 persen yang menggunakan perjalanan udara untuk keperluan perjalanan atau liburan, sementara sebagian lainnya bersedia membayar berbagai biaya. Berapa biaya tersebut?” Dia berkata.

Selain itu, Alvin menyebut pemungutan biaya pariwisata melalui tiket pesawat melanggar perjanjian angkutan udara internasional. Menurut dia, harga tiket tersebut sudah dikenakan pajak yang berlaku di negara masing-masing. pajak bandara Maskapai internasional telah sepakat untuk tidak mengenakan biaya tambahan atau biaya tambahan atau tiga hal lain kecuali kenaikan harga bahan bakar.

Oleh karena itu, alih-alih membayar penumpang pesawat, pemerintah seharusnya membebankan biaya langsung kepada operator industri pariwisata.

“Misalnya seperti visa on Arrival atau visa yang dikeluarkan langsung di bandara. Efeknya harga naik, jadi harganya seperti harga naik. Harga tidak naik, tapi harga naik. Yang, jika gagal, akan ditagihkan ke maskapai penerbangan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *