REPUBLIKA.CO. Hal ini merupakan cara cepat bagi pemerintah untuk memenuhi target penerimaan pajaknya. Ia mengaku menyayangkan kenaikan pajak tersebut mengingat penurunan tarif pajak selama satu dekade terakhir, terutama seiring melemahnya daya beli masyarakat.
“Kenaikan PPN sudah mencapai 11% sejak April 2022 dan kini akan ditingkatkan menjadi 12% mulai Januari 2025,” kata Yusuf kepada Republik, Senin. (16/09/2024).
Yusuf menjelaskan, kinerja penerimaan pajak mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir. Catatannya, di akhir masa jabatan SBY tahun 2014, tarif pajaknya berkisar 10,85%. Produk domestik bruto (PDB), tarif pajak anjlok hingga hanya 9,77 persen pada akhir masa jabatan pertama Presiden Joko Widodo pada tahun 2019. PDB. Sementara itu, penerimaan PPN turun dari 3,87%. PDB pada tahun 2014 mencapai 3,36% terhadap PDB pada tahun 2019
“Lahirnya HPP (Harmonisasi Ketentuan Perpajakan/UU Nomor 7 Tahun 2021) atau Omnibus Law Pajak yang menjadi landasan kenaikan pajak pertambahan nilai dinilai bisa menjadi perbaikan dalam penerapan penerimaan pajak tersebut. . dikatakan. Yusuf.
Kemudian, setelah menaikkan PPN menjadi 11%. Pada tahun 2022, penerimaan pajak pertambahan nilai meningkat dari 3,25%. Pertumbuhan PDB pada tahun 2021 mencapai 3,51%. PDB pada tahun 2022 dan akhirnya mencapai 3,62%. PDB pada tahun 2023
Namun tarif pajak secara umum akan meningkat dari hanya 9,12% pada tahun 2022. PDB pada tahun 2021 akan mencapai 10,39% PDB pada tahun 2022. Sedangkan tarif pajak akan turun menjadi 10,21% pada tahun 2023. PDB.
“Terlihat peningkatan penerapan PPN setelah penambahan bunga justru diikuti dengan penurunan kinerja pajak lainnya, khususnya PPh. “Penerimaan PPh awalnya lebih tinggi dari 4,10%. PDB tahun 2021 mencapai 5,10% dan PDB tahun 2022 stagnan di angka 5,03% pada tahun 2023. PDB,” jelasnya.
Joseph memperkirakan setelah PPN naik menjadi 11%. Pada tahun 2022, terdapat tren awal penguatan peran penerimaan PPN terhadap penerimaan pajak. Menurut dia, jika situasi ini terus berlanjut maka kesenjangan penerimaan bisa semakin melebar karena PPN lebih bisa dipungut dibandingkan PPh.
Diketahui bahwa PPN lebih regresif karena dibayarkan ketika pendapatan dibelanjakan pada barang dan jasa pada saat yang sama, terlepas dari tingkat pendapatan warga negara.
“Jadi, tanpa adanya perubahan hasil penerimaan pajak penghasilan, rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025 dapat memberikan dampak distribusi yang lebih kuat sehingga memperlebar kesenjangan akhir,” ujarnya.
Yusuf menjelaskan, PPN 10% berlaku selama kurang lebih empat puluh tahun mulai tahun 1983 hingga 2021. Ia mengaku menyayangkan kenaikan PPN tidak dibarengi dengan peningkatan daya beli masyarakat.
“Kami menyayangkan keputusan menaikkan tarif PPN menjadi 11% pada tahun 2022 dan 12% pada tahun 2025, mengingat lemahnya daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah dan menengah. Basis pajak, khususnya basis PPh golongan terkaya yang dikenakan pajak selama ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yusuf mengatakan kenaikan PPN pada tahun 2025 akan memberikan tekanan yang sangat besar terhadap belanja negara. Hal ini mencakup Skema Gizi Gratis (MBG), Rencana Strategis Nasional (PSN) dan Rencana Induk Ibu Kota Pulau (IKN), serta mengatasi stagnasi tarif pajak meskipun telah dilakukan berbagai reformasi perpajakan. Pembebasan Pajak.
“Sepertinya kenaikan PPN merupakan cara cepat untuk meningkatkan tarif pajak dan ruang fiskal. “Penambahan program MBG yang populer dari Presiden Prabowo ke dalam APBN 2025 akan semakin memperkuat rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12%. 2025,” ujarnya.