iaminkuwait.com JAKARTA – Kebaya diyakini bisa digunakan semua kalangan dan bukan sebagai penanda kelas kelompok. Menurut Sejarawan Universitas Erlanga (Unair) Murdiati, di zaman modern ini perubahan tersebut penting untuk menjamin kebaya tetap lestari dari masa ke masa.
Murdiyati kemudian meminta para pemuda untuk tidak malu mengenakan kebais di berbagai kesempatan. Menurutnya, sebagai generasi penerus, generasi muda mempunyai peranan penting untuk semakin memajukan popularitas kebaya.
“Jadi anak muda jangan malu memakai kebaya di setiap kesempatan. “Jika hal ini tidak dilakukan oleh generasi muda, maka merekalah yang akan menjaga baju kebaya di kemudian hari,” kata Murdiyati dalam keterangan tertulis yang dikutip, Kamis (25 Juli 2024).
Dalam rangka Hari Kebaya Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 Juli, Murdiati lantas menceritakan kisah kebaya. Menurutnya, kebaya sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Awalnya kebaya diperkenalkan oleh bangsawan dan bangsawan Eropa pada abad ke-19.
“Padahal pada zaman klasik yaitu agama Hindu dan Budha, pakaian juga dikenal. Namun, saat itu pakaian yang dikenakan belum menutupi seluruh tubuh. “Saat kita pertama kali memasuki era beradab, masyarakat menyadari bahwa kita membutuhkan pakaian yang menutupi seluruh tubuh,” kata Murdiati.
Murdiyati mengatakan, saat itu kebaya sangat dibatasi dan hanya kalangan tertentu yang boleh memakainya. Masyarakat awam biasanya memakai kemben hanya saat beraktivitas sehari-hari. Ia menambahkan, saat itu kebaya dianggap sebagai pakaian yang sangat eksklusif.
“Awal mula pengetahuan masyarakat adat terhadap kebaya adalah interaksi mereka dengan kaum bangsawan. Salah satunya, para pekerja atau pembantu yang bekerja pada mereka (bangsawan). “Akhirnya perlahan-lahan masyarakat menerima kebaya yang dikenakan kalangan bangsawan saat itu,” ujarnya.
Pada masa itu terdapat perbedaan dalam penggunaan kebaya, terlihat dari bahan yang digunakan. Para bangsawan atau pangeran biasanya memakai kebais yang terbuat dari bahan eksklusif yaitu beludru dan kancing emas.
Sedangkan masyarakat biasanya memakai kebaya yang terbuat dari bahan seadanya atau yang sekarang disebut lurik. “Perbedaan ini menunjukkan keterwakilan kelas masyarakat tertentu saat itu antara masyarakat kelas menengah ke bawah dan masyarakat kelas atas,” ujarnya.
Ia mengatakan model yang digunakan saat itu hampir sama. Ternyata, beberapa sumber sejarah membuktikan bahwa masyarakat bediende dan kalangan atas menggunakan model kebaya enzim. Model ini merupakan hasil adaptasi budaya Indonesia dengan budaya Tionghoa.
“Wanita India ras campuran berperan besar dalam melanggengkan keberadaan kebaya saat itu. “Mereka melanggengkan keberadaan kebaya bukan hanya karena estetikanya, tapi juga kenyamanannya karena menyesuaikan dengan iklim kawasan Hindia Belanda,” kata Murdiati.