iaminkuwait.com, JAKARTA – Pakar polimer lulusan sebuah universitas di Jerman mengatakan, kandungan Bisphenol A (BPA) pada senyawa produksi kemasan polikarbonat, termasuk galon, sangat kecil. Selain itu, BPA ini hanya bermigrasi ketika galon dicairkan.
Hal tersebut diungkapkan Oka Tan, pakar polimer yang baru saja lulus dari University of Applied Science Darmstadt di Jerman, jurusan Teknologi Polimer. “BPA pada produk jadinya sangat sedikit. Jadi tidak mungkin polikarbonat bisa melepaskan BPA dalam jumlah besar,” ujarnya dalam siaran pers, Selasa (27/8/2024).
Dengan membuat kemasan yang sangat kuat dan tahan panas, BPA yang terikat dalam bentuk polimer pada galon polikarbonat juga tidak dapat bermigrasi saat terjadi benturan atau gesekan dan saat terkena sinar matahari. Tapi itu tidak pernah terjadi, cangkang polikarbonatnya meleleh. Itu karena cangkang polikarbonat ini tidak tahan panas hingga ratusan derajat atau lebih dari 200 derajat,” ujarnya.
Jika terjadi gesekan pada proses pendistribusiannya, menurut Oka, tidak akan mempengaruhi isi galon. “BPA bekerja dari luar, bukan dari dalam. Jadi tidak mungkin BPA bermigrasi ke dalam air. Orang mungkin mengira kalau saling bersentuhan, bagian luarnya akan pecah, sehingga mikroplastiknya keluar.” terbukti,” ujarnya.
Itu sebabnya dia mengatakan bahwa semua opini masyarakat yang mengatakan hal itu tidak terbukti secara ilmiah.
Baru-baru ini, Guru Besar Farmakologi Universitas Airlangga Junaidi Khotib mengatakan ada kemungkinan nilai ambang aman berubah. Hal ini disebabkan banyaknya BPA yang bermigrasi dari polimer polikarbonat sangat bergantung pada tingkat keasaman cairan yang dikemas, suhu penyimpanan (distribusi dan penyimpanan eceran), dan paparan sinar matahari.
Menanggapi hal tersebut, Oka menegaskan bahwa BPA tidak bermigrasi, melalui gesekan saat pendistribusian atau paparan sinar matahari. “Siapapun boleh berpendapat seperti itu. Tapi kalau ada gesekan, itu di luar galon, bukan di dalam. Jadi tidak mungkin migrasi. Apalagi BPA baru migrasi kalau kemasannya meleleh,” ujarnya.
Sebelum digunakan untuk minuman, kata dia, galon polikarbonat tersebut dianil atau dipanaskan agar lebih kuat. Makanya masyarakat suka pakai polikarbonat karena tahan lama, ujarnya.
Pada dasarnya, kata Oka, polikarbonat masih diperbolehkan oleh FDA atau Food and Drug Administration, Food and Drug Administration Amerika Serikat, serta negara lain, termasuk Indonesia. “Kalau dianggap membahayakan kesehatan, seharusnya paket ini sudah lama dikeluarkan dari peredaran. Tapi tidak pernah terjadi,” ujarnya.
Padahal, menurut pengakuan Oka sendiri, polikarbonat ini sebenarnya dikembangkan dalam produksi tupperware di Irlandia, Amerika, dan Belgia. “Itu karena semua orang tahu bahwa polikarbonat aman digunakan,” ujarnya.
Bahkan, ia mengklaim BPA bisa menyebabkan perubahan pada kromosom. “Tetapi jika digunakan sebagai bahan bakar, itu aman dan telah diteliti dengan baik di Eropa, Amerika, dan negara-negara lain. Jika berbahaya, mereka pasti sudah melarangnya sejak lama,” katanya.
Oleh karena itu, mereka melihat isu BPA tersebut diangkat hanya karena adanya unsur persaingan usaha. “Karena belum semua negara terkonfirmasi adanya kasus migrasi BPA dari kemasan polikarbonat yang melebihi batas aman yang ditetapkan di negara tersebut. Semua masih di bawah batas tersebut,” ujarnya.