Apakah Kidsfluencer Bentuk Eksploitasi Anak? Ini Penjelasan Psikolog

Radar Sumut, SURABAYA — Psikolog anak Universitas Airlangga (Unair) Dr Nur Ainy Fardana menanggapi banyaknya bermunculan influencer anak-anak seperti Cipung dan Shabira Alula atau Lala. Kidsfluencer adalah sebutan untuk anak-anak yang menjadi influencer di media sosial. Biasanya dimulai dari orang tua yang memberikan konten tersebut kepada anak.

Apakah konten yang melibatkan anak merupakan bentuk eksploitasi anak? Nur Ainy menjelaskan, eksploitasi anak berarti merampas hak-hak yang seharusnya dimiliki anak. Oleh karena itu perlu dikaji terlebih dahulu posisi anak dalam pembuatan konten yang melibatkan mereka.

“Eksploitasi atau tidak, kita harus bertanya apakah anak melakukannya dengan perasaan tertekan dan tidak nyaman, atau sebaliknya? Maksudnya anak membuat senang,” ujarnya, Minggu (14/4/2024). ).

Nur Ainy melanjutkan: Biasanya orang tua pada awalnya hanya merekam momen-momen lucu anaknya sebagai kenangan. Namun, tambahnya, menampilkan aktivitas sehari-hari anak, seperti bermain, makan, dan aktivitas lainnya justru mengaburkan perlindungan privasi anak. Selain itu, anak-anak juga lebih sering terpapar kamera.

Menurut Nur Ainy, keberadaan anak di dunia hiburan tidak menjadi masalah. Artinya, apabila segala sesuatunya dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan minat dan bakat anak serta menumbuhkan kreativitas sesuai dengan dunianya. Bagaimanapun, kondisi psikologis anak harus menjadi perhatian utama.

“Jika anak-anak berkecimpung dalam dunia hiburan juga harus diperlakukan dengan baik, tanpa menghambat tumbuh kembangnya secara fisik, mental, sosial, dan intelektual,” ujarnya.

Nur Ainy menambahkan, sebaiknya orang tua mengontrol intensitas anak menghadap kamera. Sebab, kata dia, frekuensi anak terpapar kamera berisiko mengganggu tumbuh kembangnya.

“Jika intensitas anak terpapar kamera sangat sering dan ada permintaan perilaku tertentu sesuai keinginan orang dewasa, maka berisiko membuat anak tidak bisa mengoptimalkan ekspresi dan eksplorasinya,” ujarnya. dikatakan. . dia berkata.

Nur Ainy mengatakan, jika anak dijadikan konten secara berlebihan oleh orang dewasa, maka menimbulkan tekanan mental pada anak. Wajib bagi orang tua atau orang dewasa untuk terus memperhatikan hak dan kebutuhan tumbuh kembang anak secara optimal.

Nur Ainy mengingatkan, setiap anak berhak dilindungi dan dipenuhi. Setidaknya ada tiga hak anak yang berisiko terabaikan. Pertama, hak atas pendidikan anak. Kedua, hak anak untuk bermain. Ketiga, hak untuk memperoleh perlindungan.

“Anak-anak harus tetap mendapat pelayanan dan kesempatan pendidikan yang baik, meski berkecimpung di dunia hiburan. Anak juga butuh aktivitas dan sosialisasi yang menyenangkan dengan teman sebayanya,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *