Deflasi Lima Bulan Berturut-turut, Kemenkeu: Sinyal Positif Terjaganya Daya Beli

REPUBLIKA.CO. persen. Meskipun ini merupakan devaluasi selama lima bulan berturut-turut, Kementerian Keuangan meyakini masalah ini akan menjadi pertanda positif akan berlanjutnya sumber daya manusia.

Direktur Lembaga Kebijakan Fiskal Kementerian mengatakan: “Kami percaya bahwa mempertahankan tingkat inflasi hingga September 2024 memberikan sinyal positif dalam hal stabilitas konsumen dan stabilitas harga. Namun, Pemerintah berhati-hati terhadap kelebihan pasokan.” Keuangan, Febrio Cacaribu dalam keterangannya yang dipublikasikan, Kamis (10/3/2024). 

 

Febrio mengatakan laju tersebut dapat berlanjut mulai April 2024 karena penurunan harga pangan dan bahan bakar. “Stabilitas harga beras dan pengumpulan produk buah-buahan dan sayur-sayuran menyebabkan inflasi selama lima bulan berturut-turut. Harga pangan terus turun karena subsidi yang memungkinkan masyarakat membeli pangan,” ujarnya. 

 

Febrio mengatakan, pemerintah akan waspada dalam mengantisipasi kondisi cuaca ekstrem yang dapat menyebabkan fluktuasi harga pangan dengan mengoordinasikan Panel Pengawasan Inflasi Harga (TPIP) dan Panel Pemantauan Inflasi Daerah (TPID). 

 

Febrio melanjutkan, ketika harga pangan turun, inflasi inti naik 2,09 persen (year-on-year) yang didorong oleh sektor perawatan pribadi, pendidikan, perumahan, dan hiburan. Stabilitas mata uang utama juga bergantung pada pertumbuhan kredit konsumen yang terus tumbuh. 

 

Sementara itu, inflasi volafile food terus menurun hingga 1,43 persen karena meningkatnya stok bahan pangan, khususnya cabai merah dan cabai rawit, di berbagai daerah akibat musim panen raya. Tercatat pula tingkat inflasi yang diamanatkan pemerintah turun menjadi 1,40 persen karena turunnya harga minyak mentah (BBM).  

 

Sementara itu, aktivitas manufaktur Indonesia pada bulan September masih berada di wilayah resesi sebesar 49,2, turun dibandingkan bulan Agustus sebesar 48,9. Menurunnya aktivitas manufaktur global, sebagaimana dibuktikan dengan penurunan Indeks Manajer Pembelian (PMI) untuk ketiga kalinya secara bulanan dan meningkatnya hambatan perdagangan, merupakan faktor-faktor yang membebani kinerja industri.

 

Di sisi lain, meski pemerintah Tiongkok berupaya meningkatkan kepercayaan pasar melalui kontrak yang ketat, masih terdapat kekhawatiran terhadap perekonomian Tiongkok. Prospek ekspor Indonesia diperkirakan akan tetap kuat, terutama bagi negara-negara berpendapatan rendah. Hal ini tercermin dari kenaikan harga komoditas seperti nikel, minyak sawit (CPO), dan batu bara.

 

Jika dibandingkan dengan tingkat PMI Indonesia, banyak mitra dagang Indonesia yang juga mencatatkan PMI manufaktur yang tinggi, seperti Amerika Serikat (47,0), Tiongkok (49,3), dan Jepang (49,6). Sementara itu, banyak negara seperti India dan Thailand mengalami ekspansi meski mengalami kontraksi.

 

“Dalam menghadapi krisis global, indikator industri dalam negeri menunjukkan kemajuan meski masih berada pada zona penyebaran. Kami yakin tujuan pertumbuhan ekonomi akan tercapai. mempertimbangkan kebijakan dan rencana dunia untuk mencapai pembangunan yang stabil dan berkelanjutan,” jelas Febrio. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *