iaminkuwait.com, JAKARTA – Meningkatnya perang Iran-Israel menyebabkan penguatan dolar AS yang tidak normal, ungkap Institute for Economic and Financial Development (Indef). Tentu saja secara teori, situasi ini akan melemahkan dolar AS.
“Secara teori, kalau terjadi perang misalnya, harga emas akan naik signifikan, tapi nilai tukar dolar AS akan turun signifikan,” kata Indef Associate Asmiati Malik dalam diskusi online, Sabtu (20 /20). /2018). 4/2024).
Dengan kondisi tersebut, Asmiati mengatakan hal menarik lainnya adalah, pada saat yang sama, rupee juga mengalami tekanan terhadap dolar. Padahal, dolar AS yang seharusnya melemah, malah berbalik arah, ujarnya.
Artinya secara teori hal tersebut merupakan hal yang tidak biasa terjadi, kata Asmiati.
Dia menjelaskan, harga emas akan menyebabkan banyak orang meninggalkan dolar dalam situasi perang. Namun Asmiati mengatakan, terjadi inflasi di Amerika sehingga pemerintah menaikkan suku bunga dan memaksa mereka kembali ke Amerika.
Artinya, likuiditas global tidak tersebar tetapi terkonsentrasi di Amerika Serikat. Jadi meski perang di Timur Tengah, likuiditas tetap terakumulasi di Amerika, jelas Asmiati.
Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat tekanan dari situasi tersebut, terlihat dari nilai tukar rupiah. Jika dilihat dari komponen makroekonomi investasi, ekspor dan impor, Indonesia sangat terintegrasi dengan perdagangan dan perekonomian global.
“Ada sebagian ahli yang bilang kita terintegrasi hanya 25 persen, tapi menurut saya lebih dari 25 persen, karena kalau kita ukur 25 persen hanya berdasarkan nilai ekspor kita dan nilai impor kita, ada ekses. . Ada biaya-biaya yang tidak terhitung, seperti nilai tambah energi atau “Peningkatan nilai energi dan peningkatan biaya logistik,” kata Asmiati.
Sikap bank sentral AS yang hawkish dan eskalasi perang Iran-Israel melemahkan rupee terhadap dolar AS. Berdasarkan laporan Refinitiv, rupiah ditutup pada level Rp 16.215 per dolar AS pada Jumat (17/4/2024), terburuk sejak 6 April 2020.