iaminkuwait.com, JAKARTA — Pakar kebijakan publik Dr Riant Nugroho menegaskan masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan industri perlu mendukung diterbitkannya Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 6 Tahun 2024. Karena tujuannya untuk melindungi kesehatan masyarakat dari paparan bahan kimia bisphenol A (BPA), diduga menimbulkan banyak potensi gangguan kesehatan.
Kebijakan (kemasan) bebas BPA ini sebenarnya sudah menjadi isu internasional dan penggunaan BPA sudah dilarang di berbagai negara, kata Ryant saat dihubungi di Jakarta.
Saat ini Indonesia sedang mencoba menerapkan kebijakan yang sama, namun tidak sampai melarangnya, menurut Ryant. BPOM berupaya menggunakan label bebas BPA atau mungkin bebas BPA pada AMDK untuk menyadarkan masyarakat akan potensi bahaya BPA.
Menurut Ryant, terkait adanya beberapa pihak yang mencoba mengacaukan label “BPA free” dengan isu lingkungan hidup, hal tersebut tidak tepat. “Soal keberlanjutan tentu sangat penting, kalau kemasan non-BPA biasanya hanya sekali pakai. Jadi soal penguatan pengelolaan kemasan bekas. Sementara kalau BPA, soal hak kesehatan masyarakat,” ujarnya. dikatakan.
Pendapat Ryant menjawab beberapa dalil dengan terbitnya Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan tanggal 5 April 2024.
Pasal 48a mengatur tentang kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum dalam kemasan, sedangkan Pasal 61A mewajibkan pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum bermerek yang menggunakan kemasan polikarbonat. Pada tahun 2028, produsen diwajibkan menerapkan peringatan bahwa, dalam keadaan tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA ke dalam air minum kemasan.
Ketua Umum Asosiasi Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) meminta semua pihak berhenti mempertanyakan kebijakan BPOM yang bertujuan untuk memastikan produk aman dikonsumsi masyarakat. Termasuk para produsen AMDK, seharusnya mereka mendukung kebijakan ini, bukan justru menentangnya.
Lebih lanjut, perusahaan AMDK mengaku tidak menggunakan kemasan yang mengandung BPA di negara asalnya, mengapa di Indonesia mereka tidak mau mematuhinya? Mereka harus mematuhi peraturan di sini dan di negara asalnya dari segi keselamatan dan masyarakat. Standar kesehatan,” kata Ryant.
Menurut Ryant, produsen tidak bisa menjamin produknya tidak terlalu panas dan terkena sinar matahari langsung. Hal ini menyebabkan penguraian senyawa kimia BPA pada kandungan produk melebihi batas aman, ujarnya dalam siaran pers.
Sementara itu, Deputi Eksekutif Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Emma Setyawati mengatakan, pelabelan BPA bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas kepada konsumen mengenai kandungan AMDK. Peraturan ini merupakan wujud komitmen BPOM dalam melindungi kesehatan masyarakat melalui peraturan yang berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, kata Ema.
Dalam workshop upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui peraturan pelabelan Bisphenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK), BPOM memaparkan hasil pemantauan kemasan galon yang dilakukan sepanjang tahun 2021-2022. Baik dari fasilitas produksi maupun distribusi, 3,4 persen sampel AMDK yang beredar di Indonesia tidak memenuhi persyaratan batas maksimal migrasi BPA, yaitu di atas 0,6 bpj.
Tak hanya itu, 46,97 persen kemasan galon di fasilitas distribusi dan 30,91 persen di fasilitas manufaktur ditemukan mengandung BPA pada tingkat yang mengkhawatirkan yaitu 0,05 – 0,6 bpj. Sementara itu, hasil pemantauan kandungan BPA produk AMDK membuktikan lima persen sampel galon baru di fasilitas manufaktur dan 8,67 persen di fasilitas distribusi mengandung BPA di atas 0,01 bpj sehingga membahayakan kesehatan.
EMA menegaskan, kebijakan pelabelan BPA didasarkan pada keinginan pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat. Semua kelompok umur menggunakan galon air pada tahun 2020, dengan total produksi tahunan sebesar 21 miliar liter dan menjangkau konsumen 50,2 juta orang atau 18 persen penduduk Indonesia.