Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Indonesia Diharap Hindari Wilayah Konflik

Radar Sumut, JAKARTA – Ketua INDEF Bidang Ekonomi Digital dan UKM Eisha Maghfiruha menegaskan, kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia ke depan harus ditujukan pada wilayah yang tidak terkena dampak konflik atau konflik. Hal itu dilakukannya agar perekonomian Indonesia tidak mempengaruhi lingkungan politik dunia.

“Kebijakan perdagangan luar negeri kita dapat diarahkan ke depan untuk mengurangi bias kita terhadap bidang-bidang yang dapat menimbulkan risiko perang dan konflik,” kata Eisha dalam diskusi publik: INDEF Women Economists Talk about Medieval Politics and Economic Development. Perang Dunia II, Sabtu (20/4/2024).

Meski konflik geopolitik tidak bisa diprediksi, Indonesia bisa memilih negara-negara yang kemungkinan terjadinya konflik rendah. Menurutnya, Indonesia bisa fokus pada negara-negara di Asia Pasifik, Indo-Pasifik, dan Asia Tenggara.

“Seperti Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, ASEAN, dan India, serta negara-negara eksportir, kita dapat terus mencari cara untuk menjangkau negara-negara non-tradisional,” ujarnya.

Eisha melanjutkan, konflik geopolitik global yang terjadi belakangan ini, mulai dari Rusia hingga Ukraina, Israel di Gaza hingga Iran dan Israel, berdampak pada perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Dampak terbesarnya adalah kenaikan harga BBM yang juga berdampak pada kenaikan harga bahan baku lainnya.

“Sebagai importir energi berbasis minyak, Indonesia tentu sangat berhati-hati terhadap inflasi,” ujarnya.

Pemerintah juga diminta menjaga daya beli masyarakat dengan mengendalikan harga dan inflasi dalam negeri. Oleh karena itu, untuk menjamin stabilitas dan mencapai pertumbuhan ekonomi, perlu dilakukan prakiraan dan pelonggaran kebijakan ekonomi.

“Daya beli masyarakat harus dijaga, kalau kita lihat di sini sebenarnya oli motor masih mendominasi penjualan, misalnya kalau harganya naik mungkin karena melemahnya rupiah atau misalnya harga minyak. yang nantinya akan meningkat ketika tekanan eksternal ini sangat besar sehingga tidak diragukan lagi akan mempengaruhi daya beli, ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah diharapkan bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk mengembangkan kebijakan yang relevan. Menurut dia, kenaikan harga tersebut disebabkan terganggunya rantai pasok akibat konflik. Dia mencontohkan, pembagian peralatan lebih lama dan memakan waktu karena menghindari wilayah konflik.

“Jadi memastikan stabilitas ekonomi itu penting dan perlu diprioritaskan, terutama ketika mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu bisnis, investasi, belanja pemerintah bahkan perdagangan internasional, semua aspek ini harus diperhatikan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *